Margie, Ilen Dan Elang II
Sambungan dari Bagian 02
Kami bertiga menghabiskan malam di Bengkel. Ngobrol, bertemu
teman-teman yang ada di sana. Sekitar pukul dua belas, kami pulang.
Saat kami keluar dari mobil Elang, dia menyerahkan sebuah bungkusan
kepadaku.
"Ini. Semoga kalian suka."
Aku sangat capek, dan Eca pun demikian. Besok musti masuk kerja dan
kupikir sekarang sudah saatnya tidur. Eca setuju, tapi dia bilang ingin
mandi air hangat dulu. Dia menuju kamar mandi dan aku mengganti pakaian
dengan baju tidur, lantas merebahkan diri di tempat tidur. Kunyalakan
TV dan menonton film HBO. Bingkisan dari Elang telah kami lemparkan di
dekat telepon. Aku mendengar shower dimatikan, dan beberapa saat
kemudian Eca muncul di kamar tidur. Handuk terlilit di tubuhnya dan
satu di kepalanya. Rambutnya yang hitam tampak lembab namun tidak
terlalu basah. Dia belum berganti dengan gaun tidurnya. Aku tetap
menonton TV, sedang Eca, tidak. Dia meraih bungkusan yang diberikan
Elang.
"Oh, boy! Apa ini?"
Ternyata itu adalah sebuah dildo. Entah Elang dapat dari mana.
Pasti dia beli di luar negeri, waktu kemarin dinas ke Hongkong. Barang
itu panjangnya sekitar 20 centimeter, berwarna coklat dan dihiasi
dengan urat-urat yang tampak 'asli'.
Eca memegangnya dan berkata, "Ini toh dildo itu. Eh, apa yang akan kita lakukan dengan ini?"
"Aku senang sekali kalau punya Ndoet segede ini. Akan kuhisap dan
kutelan setiap malam", katanya lagi. Eca membawa kepala dildo yang
besar itu ke mulutnya dan memutarkan lidahnya mengelilingi benda itu.
Kemudian dia memasukkan sebagian dari dildo itu ke mulutnya dan mulai
menghisapnya seperti benda itu adalah penis asli. Aku terangsang. Eca
berdiri di hadapanku menghisap dildo itu dan aku menyadari kalau puting
payudaraku mulai menegang melihat Eca. Aku tidak tahu Eca sengaja atau
nggak, handuk Eca terjatuh. Payudaranya yang besar itu menantang dengan
pentilnya yang mengeras. Eca tersenyum padaku saat dia mengeluarkan
dildo itu dari mulutnya dan menggosokkannya di antara putingnya yang
kiri dan kanan. Aku harus mengakui kalau aku menjadi sangat terangsang
dan vaginaku menjadi basah.
Sambil memegang dildo dengan satu tangan, tangan yang lainnya
bergerak ke tempat tidur. Sambil tersenyum, dia menarik kain yang
menjadi selimutku. Eca melanjutkan permainannya dengan dildo tersebut,
membawanya ke bagian bawah tubuhnya, dan lebih ke bawah lagi. Dengan
suara yang parau, matanya tertuju kepadaku, dia memerintahku,
"Buka baju tidurmu, Marg."
Saatku meloloskan baju tidur itu melalui kepala, aku menyadari
betapa terpesonanya aku. Aku belum pernah senafsu ini, apa lagi ke
sesama jenis. Pengalaman pertama tadi membuatku lupa diri. Saat itu
pula Eca masuk ke dalam selimut yang kupakai. Dia di sebelahku, masih
memegang dildonya. Dia meletakkannya di sebelahku dan menaruh tangannya
di dadaku. Aku merintih dengan penuh kenikmatan ketika Eca secara halus
meremasnya. Dia menggerakkan tangannya ke bahuku, menariknya ke arah
atas, melewati kepalaku. Sesudah tanganku menyentuh palang yang ada di
atas kepala tempat tidur, Eca tersenyum nakal. Dia mengambil dasi Ndoet
yang ada di situ, lalu dengan cepat melingkarkannya di pergelanganku,
mengikatku di ujung tempat tidur.
Aku menahan nafas, merasakan sesuatu perasaan takut. Aku merasa
sangat nggak nyaman dengan perlakuan Eca ini. Tanganku sedikit sakit
karena ikatan yang kencang itu. Dia pasti menyadarinya. Dia memandangku
dengan lembut dan perlahan menelusuri tubuhku dengan jemarinya.
"Jangan khawatir", katanya. "Aku tak akan menyakitimu. Dan, kamu akan menikmati ini."
Dia berbaring di sebelahku dan memelukku. Tubuhnya yang langsing
terasa hangat, payudaranya menekan tubuhku. Waktu dia memeluk pahaku
dengan kakinya, aku merasakan kelembutan bulu-bulu kemaluannya, lalu
kehangatan vaginanya yang digosok-gosokkan ke pahaku. Aku menjadi
rileks dan mulai menghayatinya.
Eca menijilati dan menghisap dadaku, aku mengerang senang. Aku
menjadi sangat terangsang. Salah satu tangannya menjalar ke bagian
selangkanganku dan aku mendengus saat jarinya menyentuh klitorisku yang
basah. Menekannya di antara labiaku, dan memasukkannya ke dalam lubang
kemaluanku. Sentuhannya sungguh seksi, aku hampir saja mencapai
orgasme. Aku sedikit kaget ketika mulutnya menekan bibirku. Bibirnya
yang lembut terbuka, dan lidahnya menerobos mulutku. Aku mulai
merasakan kenikmatan yang dihantarkan lidahnya. Kubiarkan dia
menciumku, dan beberapa waktu kemudian, aku membalas kecupannya.
Tangannya terus mengelus-elus vaginaku. Aku mencoba untuk mengalungkan
lengan ke tubuhnya, tapi ikatan yang dibuatnya sangat kencang. Aku
hanya dapat merintih di bawah pengaruh sentuhan dan ciumannya.
Eca menarik mulutnya dariku dan aku membuka mataku yang tadi
terpejam menghayati perlakuannya. Dia memandangku dengan tatapan liar.
"Kamu akan menjadi pemakai pertama dari dildo ini, Margie", katanya.
"Kau akan menyukainya."
"Tapi Ca.."
Sia-sia aku menolak. Eca telah menaruhnya di bibir kewanitaanku.
"Tadi kau telah memuaskanku. Sekarang giliranmu. Nikmatilah, Margie."
Kemudian kusaksikan Eca menarik kembali dildo itu, membawanya ke
mulutnya. Aku melihatnya menjilati dan menghisapnya seperti itu penis
sejati. Dia mengeluarkan dildo dari mulutnya dan menyentuhkan kepala
dildo itu ke mulutku.
Mulutku terbuka dan Eca menekan kepala 'penis' yang besar itu ke
dalam. "Yach, begitu Margie", katanya. "Hisaplah kejantanan ini.
Hisaplah penis besar ini. Kau menyukai penis yang besar berada di
mulutmu, bukan?" Aku tidak bisa menjawab dengan kata-kata, tapi
responku cukup jelas. Waktu Eca mengayunkan dildo itu keluar masuk
mulut dan kerongkonganku, aku menghisapnya dan melenguh dengan penuh
kenikmatan. Aku membuka mata dan melihat Eca memainkan kewanitaannya
dengan tangan yang satu lagi. Vaginaku sendiri telah benar-benar banjir
dan aku frustasi karena tak dapat menyentuhnya dengan tanganku untuk
melepaskan tekanan nafsu syahwat yang menggebu-gebu itu.
Eca menyadarinya. Dia mengeluarkan dildo dari mulutku dan memainkannya di bibirku.
"Kamu siap dimasuki dildo ini?" dia bertanya.
"Yaa!" aku berteriak serak. Aku sudah benar-benar kepingin
membenamkan dildo itu ke vaginaku, seperti aku tidak pernah disetubuhi
sebelumnya.
Mulut Eca kembali menciumi mulutku, dan aku membalas dengan penuh
nafsu. Sementara itu, aku merasakan Eca membawa dildo itu ke arah
selangkanganku. Kepala dildo yang halus dan licin itu menyentuh labiaku
yang basah dan lalu menekannya di antara kedua bibir vaginaku. Eca
duduk, untuk membuatnya lebih mudah memasukkan benda itu ke tubuhku.
"aahg, aaghh", aku merintih, nafasku tidak beraturan.
Eca menunjukkan dildo yang sudah 15 centimeter masuk ke dalam liang
kewanitaanku. Dia perlahan-lahan, ooh, perlahan-lahan sekali menarik
keluar benda itu, hampir keseluruhannya, lalu dengan perlahan-lahan
kembali memasukkannya, lebih dalam, lebih dalam lagi.
Aku tidak tahan lagi. Makin terangsang. Aku tidak pernah berbicara
'kotor' kalau sedang 'main' dengan Daud atau dengan pacar-pacarku yang
dulu-dulu, tapi Eca membuatku putus asa dan meminta untuk benar-benar
disetubuhi.
"Oooh. aahh", aku menjerit.
"Fuck me! Berikan padaku! Kasari aku! Masukkan Ca! Tekan! Jangan pernah kau keluarkan!"
Kamar tidur Eca itu menggemakan segala kata-kata kotor yang keluar
dari mulutku. (Aku dilarang Elang menceritakan teriakanku dengan
mendetail. Dia beraliran softcore, kurasa.)
Eca tidak perlu petunjuk apa pun. Dia mulai memompa dengan kencang
dildo itu di dalam lubang kenikmatanku. Tangannya menggenggam dildo itu
kencang. Tinjunya menghantam bagian luar vaginaku, membuatku bertambah
nikmat. Aku merasa bagian dalam vaginaku tertarik keluar saat dildonya
ditarik. Aku menikmati kekasaran yang dibuat Eca.
Hanya butuh waktu beberapa menit untuk membuatku puas secara total.
Aku mengalami orgasme yang kurasakan sangat berbeda. Aku jarang bisa
mendapatkan multiple orgasme, tapi kali ini mungkin empat atau lima
kali puncak kenikmatan itu kurasakan. Aku tidak tahu mana yang duluan
terjadi. Aku yang sudah orgasme, atau Eca yang telah kehabisan energi
memompakan dildo itu ke vaginaku. Dia rebah di sampingku yang masih
terikat. Dildonya masih tertancap di vaginaku. Eca memeluk pahaku
dengan kakinya, lalu menggosok-gosokkan kewanitaannya kepadaku. Sampai
akhirnya dia juga mencapai orgasme.
Dia terbaring kelelahan, tidak bergerak. Aku khawatir dia langsung
tidur, dan aku harus terikat sepanjang malam. Akhirnya Eca bergerak,
menjauh dari tubuhku yang penuh keringat. Dia menciumku cukup lama
sambil tangannya membuka ikatan tanganku. Tanganku terbebas, aku
memeluknya dan menariknya ke tubuhku. Kami berciuman kembali. Aku
mengeluarkan dildo dari 'sarang'nya, saat itu Elang menelepon.
"Did you two enjoy my present, ladies?"
Terdengar dia tertawa, kami hanya tersenyum. Aku mencium Eca, dan kami tertidur saling berpelukan.
Waktu terbangun esok harinya, aku mulai ragu dengan kehidupan
normalku. Aku misuh-misuh ke Elang. Dia yang memulai semua ini. Tapi
Elang pula yang akhirnya meyakinkanku, kalau kadang kita emang butuh
sesuatu yang beda. Buktinya, aku bakalan kawin dengan Daud beberapa
bulan lagi. Doain aku ya..!
TAMAT
----
« Hot Zone
« Back
« Home
« New & Fresh
1134